Hari Baik dan Kebaikan yang Terabaikan

Hari ini umat Kristiani merayakan Jumat Agung. Saya sebagai umat Muslim sangat menghargai teman-teman yang merayakan, terutama orang terdekat saya. Memang sih, agaknya sensitif membicarakan agama. Tapi sedikit banyaknya tulisan ini murni hanya ungkapan perasaan saya.

Beberapa teman saya memutuskan untuk pulang ke rumah untuk merayakan hari ini. Tak sedikit pula yang tinggal di kota karena kampung halamannya jauh. Sudah seharusnya saya sebagai teman mengucapkan hari yang baik ini pada mereka, bukan?

Ada di antara mereka yang saya ucapkan “Happy Good Friday”. Salah satunya berterima kasih, dan ada satu yang mengatakan hal yang tak saya duga.  “Paan sih ah,” ujar salah satu teman lainnya.

Teman yang menjawab demikian termasuk orang terdekat saya. Bisa dibilang, kami berhubungan. Entah orang mau menafsirkannya seperti apa, intinya saya menaruh perasaan. Kami sering ngobrol lewat line, tapi hal tersebut jadi alasan karena kami jarang ngobrol langsung akhir-akhir ini.

Entah mengapa setelah ‘kejadian’ itu, saya langsung menangis terisak-isak. Baru pertama kali dalam hidup, saya merasa ditolak sedemikian buruknya. Padahal niat saya baik sebagai teman.

Di luar hubungan kami yang tak jelas sebutannya (dalam budaya kami) apa,  saya masih bersikap profesional. Di mana saya harus menjadi rekan kerjanya, saya tahu batasan dan bagaimana saya harus bersikap. Tapi kadang perasaan (yang lebih dominan saya miliki) membatasi ruang kerja kami. Padahal saya sudah biasa saja.

Jika memang ia sengaja menjawab seperti itu agar saya membencinya, cara ini murahan. Tapi jika ia memang benci saya, maka saya tak tahu bagaimana menyikapinya. Memang saya kelewat baper, tapi saya yakin hal yang saya lakukan benar sebagai teman yang toleran.

Mungkin saya yang salah.